Setahun (Lebih) Bersama Apple Music

See at my main website here

Memilih layanan streaming musik mungkin sekarang ini cukup mudah. Yang biasa orang pakai di Indonesia kalau enggak Spotify ya YouTube Music. Tentu saja ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dan di sini gue lebih memilih untuk memakai Apple Music dalam keseharian gue. Bukan karena tanpa alasan juga gue pindah ke sini. Gue nggak mau mengulas, tapi cenderung mau cerita aja bagaimana gue pakai layanan stream musik dari perusahaan apel kegigit ini.

Sebenarnya gue pengen nulis dan publish tulisan ini pada bulan September kemarin, cuma karena keteteran jadi ketunda mulu. Anyway…

Gue mulai iseng pakai Apple Music semenjak bulan September 2021. Kebetulan karena pas itu ada uji coba gratis selama 3 bulan. Buat harganya, karena gue pakai paket pelajar, dulu Rp 29.000. Tetapi semenjak Agustus tahun ini harganya naik jadi Rp 35.000. Nggak jauh-jauh banget. Yang bikin gue kepincut buat pakai adalah Apple Music Lossless dan Spatial Audio dari Dolby Atmos. Like, bayangin fitur kayak gini tapi harganya hampir sebanding sama kompetitornya? Spotify sama YouTube Music nggak ada ginian, tapi Apple Music ada loh!

Tarif Apple Music di Indonesia

Sekarang gue mau coba tear down apa aja yang gue rasakan selama gue pake Apple Music. Dan ya, yang enak dan yang nggak enak. Gue bakal jujur aja.

Yang bikin gue nyaman saat pertama kali nyoba adalah look and feel dari UI-nya sendiri. Simpel, bersih, fokus, manjaain mata. Now playing terasa intim karena nggak banyak elemen di dalamnya dan bisa terfokus dengan album art yang terpampang di layar. Oh ya, ini untuk aplikasinya di Android (serta iOS), ya. Kesannya emang rapi dengan tombol minimalis. Belum sama dynamic background-nya yang ngikutin dengan album art yang ada. Manjain mata. Navigasi yang berpegang penuh pada gesture, dan sampai gue terbiasa “back” dengan menggulirkan jari gue dari arah atas ke bawah, gue pas balik pakai Spotify sampai kagok karena ternyata nggak bisa wkwkwkwk.

UI Now Playing Apple Music yang simpel
UI laman Listen Now Apple Music

Lossless, banyak yang bilang placebo effect. Gue juga mengakui itu. Tapi emang nggak sedikit album dan lagu yang terasa wah banget secara obyektif di Apple Music. Dan udah banyak orang yang bilang “this is just better” dibandingkan dengan kompetitor. Well, kalau boleh jujur sih, dari perspektif gue sekarang ini, gue jarang pakai lossless karena selain boros kuota dan bandwidth, gue nggak butuh wkwkwk. Sometimes I need it, but not every time. I even set it on High Efficiency mode. Lalu ada Spatial Audio yang didorong oleh Dolby Atmos. Ini fitur cukup killer, tapi terkadang terasa nggak diperlukan banget. Biasanya Spatial Audio hanya tersedia untuk lagu yang memang udah dimaster dengan Dolby Atmos dari sananya. Kalau biasanya dengerin lagu yang emang nggak dimaster sedemikian rupa? Ya, nggak ada opsinya. Plus, nggak sedikit lagu yang masternya jadi jelek, tapi nggak sedikit juga yang beneran terasa pecah bin cetar membahana. Tanpa kusadari aku sudah hiperbola. Is it an important element? Maybe no. Is it nice to have? Absolutely. Oh, satu lagi, Apple Digital Master. Fitur ini adalah tanda bahwa album tersebut sudah dimaster sedemikian rupa agar memberikan pengalaman terbaik bagi pengguna Apple Music. Ya, kasarnya seperti itu.

Album Moving Pictures dari Rush yang ada tanda Dolby Atmos, Lossless dan Apple Digital Master

Mungkin selanjutnya gue bakal bahas yang nggak enak dulu. Kalau kalian suka lagu-lagu bahasa Jepang dan pakai locale bahasa Inggris, lagu-lagu tersebut mayoritas bakal menjadi dalam bentuk romaji atau diterjemahkan ke bahasa Inggris pula. Pertama, jadi romaji nggak masalah. Karena kebanyakan dari kita juga pakainya judul versi bahasa Jepangnya, ‘kan. Beruntung kalau pake romaji Hepburn. Kalau Nihon-shiki, makin berabe. Belum sama penulisan yang acak-acakan dan bahkan kata dalam bahasa Inggris dalam bentuk katakana juga sering ditulis dalam bentuk romaji dari katakananya, bukan dari kata bahasa Inggrisnya. Ini cukup ngeselin sih, either gue dan last.fm nggak mengenalinya wkwkwk. Lalu, untuk yang diterjemahkan ke bahasa Inggris langsung, juga nggak masalah juga sebenarnya, karena biasanya itu judul terjemahan resminya. Tapi at some point ada versi terjemahan dari penggemar yang lebih cocok, well, only occurs on some occasions, tho. Not a big problem kalo yang ini.

Contoh penerapan romaji yang susah dimengerti di album East-West Tokaido ~ Retrospective 53 Minutes dari Team Shanghai Alice
Contoh terjemahan bahasa Inggris untuk judul lagu di album Shingan dari Harusaruhi

Ketersedian kadang menjadi masalah, tapi ini juga masalah kecil sebenarnya. Kadang cuma beberapa artis aja yang nggak ada di sini, tapi rasionya kecil banget. Contoh Frozen Starfall cuma ada di Spotify, jadi nggak ada di Apple Music bahkan di YouTube Music. Aight, fair enough. Ini juga will dari mereka sendiri saat ngepublish ke sana. Once again, ketersediaan nggak begitu masalah bagi gue. Nanti akan gue jelasin.

Balik ke yang nggak enak, Spotify integrasinya lebih cakep daripada Apple Music. Gue akui itu. Punya rich presence Discord sendiri tanpa aplikasi tambahan. Rich presence ada solusinya sendiri sih untuk Apple Music, lewat Cider yang akan gue jelasin nanti atau tool kecil yang dibuat oleh komunitas. Apple Music kalah terbuka untuk hampir semua platfrom dibanding sama Spotify. webOS nggak ada Apple Music, ‘kan? TV emak gue pake webOS soalnya wkwkwkw. Dan lu tahu juga kebanyakan tool yang pakai listening history pakainya cuma API dari Spotify, which yang pakai Apple Music got nothing to do kecuali kalo ada last.fm, bisa pakai tool yang manfaatin API-nya mereka. Itupun sedikit dalam jumlahnya. Remember Spotify Connect? Apple Music juga nggak punya hal yang serupa, apalagi yang pakai perangkat non-Apple makin terasa “nggak bisa”. Tapi setelah sekian lama, gue juga nggak begitu peduli lagi sama fitur ini sih wkwkwk.

Rich Presence dari Cider di Discord

Yang enak dari Apple Music adalah karena masih pakai naturenya iTunes, lu juga masih bisa ngehandle library musik lu lebih leluasa daripada Spotify dan YouTube Music. Masih ingat dengan artikel gue sebelumnya? Yes, lu bisa upload koleksi musik lu lewat iTunes dan bisa distream dari perangkat lain dengan Apple ID yang sama. Lalu masih bisa diedit metadatanya, sesuatu yang YouTube Music nggak bisa, apalagi Spotify yang emang nggak ada fitur upload serupa. Maka dari itu, gue masih bisa menikmati luasnya library Apple Music bersama koleksi doujin Touhou gue yang nggak mungkin bakal nongol secara digital di platfrom streaming ini.

Album Dreaming Stargazers dari Frozon Starfall yang gue upload ke iCloud pribadi gue lewat iTunes.

Client yang gue pakai di desktop ada dua. Actually tiga, sih. iTunes Legacy yang nggak pernah dapat update UI dari jaman gue SMA, Apple Music web yang clunky af, dan Cider yang menawarkan pengalaman Apple Music yang lebih customizable dan personalized. Bahkan client yang terakhir ini cross platfrom untuk Windows, Mac dan Linux serta open source. Gue masih pakai iTunes buat upload lagu dan jajan lagu. Apple Music web lebih jarang kepake, kecuali malas buka aplikasi aja. One thing that need to be considerate is, iTunes (dari dulu) dan Cider berat banget. Apalagi Cider pakai Electron, sama kayak WhatsApp Desktop Legacy, Discord, Slack, Visual Code Studio, macam-macam. Still, gue merasa nyaman pakai Cider.

iTunes di Windows
Apple Music web
Cider

Apple Music udah lama ngasih fitur cuplikan yaitu Replay, serupa dengan Spotify Wrapped. Tapi tahun lalu masih dalam bentuk website yang nggak ada bentuk story-able-nya sama sekali. Baru tahun ini fitur ini diimplementasikan hampir serupa dengan Wrapped dengan informasi lengkap mengenai album dan artis terbaik, berapa lama mendengarkan lagu, bahkan bisa ngasih tahu apakah kamu berada di top 100 pendengar artis favoritmu. Yang mantepnya, Replay nggak perlu install aplikasi dulu kayak Spotify dan YouTube Music yang cuma bisa lihat Wrapped dan Recap di aplikasi. Bahkan Replay bisa dilihat di desktop langsung! Gila! Still, there’s an effort. Lalu ada Sing, fitur karaoke yang menawarkan fitur yang lengkap, nggak cuma lagu tanpa vokal aja. Saat ini masih tersedia untuk segelintir perangkat Apple aja. Looking forward for it.

Platfrom ini sudah menjadi bagian dari gue selama satu tahun terakhir. Fiturnya, tampilannya, pengalamannya, semuanya membuat gue betah. Selain merasa “spesial,” karena “Apple” hahah. That doesn’t count ahahahahah. Still, it’s a great service. You guys should try it.