Google setelah mengumumkan akan menerapkan Web Environment Integrity, sebuah proposal API dari Google untuk Google Chrome yang memungkinkan website untuk memverifikasi pengunjung dengan meminta token yang membuktikan lingkungan pada klien. Tujuannya adalah untuk mencegah lingkungan web yang menipu seperti phishing, malware, atau spoofing. Namun, beberapa kritikus berpendapat bahwa ini bisa menjadi bentuk DRM (Digital Rights Management) yang mengurangi pilihan dan privasi pengguna. Web Environment Integrity bekerja dengan cara meminta token dari attester yang dapat digunakan untuk memverifikasi klien. Token ini kemudian dikirimkan ke relying party di mana mereka divalidasi untuk keasliannya. Token ini mengandung informasi tentang perangkat keras dan perangkat lunak klien yang memenuhi kriteria tertentu. Maka dari itu API ini menjadi topik yang dianggap kontra oleh sebagian besar orang.
Google memang menerapkan ini pada Google Chrome nantinya bahkan juga sudah memasukkan ke kode sumber Chromium sendiri, yang digunakan oleh banyak forknya, termasuk Edge, Vivaldi, Opera, Brave, dan lain-lain. Mozilla selaku pemilik Firefox, serta Brave sudah menentang hal ini beberapa waktu yang lalu. Bahkan Vivaldi sejak lama sudah menentang Google atas yang mereka lakukan dengan Chrome. Edge sendiri tidak mengatakan apa-apa mengenai apa yang dilakukan oleh Google.
Aku pakai Edge selama satu tahun terakhir, setelah aku hengkang dari Chrome yang sudah aku gunakan hampir 7 tahun. Dulu saat pertama kali kepikiran untuk pindah ke Edge, banyak hal yang masih membuatku bimbang. Karena aku pakai Android, hal pertama yang aku pikirkan adalah akun yang bisa digunakan untuk sinkronisasi. Mengingat Edge menggunakan akun Microsoft, tentu ini berbeda dengan Chrome yang menggunakan akun Google. Aku menggunakan Chrome karena bisa menggunakan beberapa profil berbeda dan bisa langsung pakai akun Google yang sudah untuk sinkronisasi. Mengingat akun Google yang aku atur nggak cuma satu, dan kebanyakan juga untuk tujuan berbeda, seperti kerjaan dan proyek. Kalau misal pindah ke Edge, otomatis aku secara opsional harus membuat akun Microsoft satu persatu untuk setiap profil. Ini awalnya cukup bikin mikir-mikir, tetapi untungnya sekarang nggak karena profil yang aku pakai sekarang hanya pribadi, kuliah dan kerjaan. It would be stupid kalau aku beneran bikin satu-satu untuk semua.
Yang kedua adalah masalah password manager. Aku bergantung dengan password manager bawaan browser karena agar mempermudah saat login, cukup jelas. Tetapi tidak hanya di PC, di ponsel juga. Karena sebelumnya pakai Chrome, aku bisa dengan mudahnya pakai di Android. Lalu bagaimana dengan Edge, pikirku saat itu. Ternyata kalau mau pakai layanan password manager dari Microsoft, bisa pakai Microsoft Authenticator. Dan sekarang aku sudah pakai Edge dan Microsoft Authenticator di ponselku setelah pindah ke Edge sepenuhnya di PC.
Hanya dua saja sebenarnya masalah yang aku hadapi pada saat aku ingin pindah dari Chrome ke Edge. Dan ternyata emang nggak begitu berarti kalau dipikir-pikir. Dan buktinya QoL di Edge malah terasa lebih nyaman dibandingkan pada saat masih pakai Chrome.
Skip ke beberapa minggu yang lalu, dimana Google sudah mulai mengumumkan mengenai pengimplementasian Web Environment Integrity. Seperti yang aku jelaskan di atas, Mozilla, Brave dan Vivaldi dengan gamblang mengungkapkan bahwa mereka sangat kontra dengan apa yang akan dilakukan oleh Google. Bagaimana dengan browser fork dari Chromium yang lainnya? Bagaimana dengan Edge sendiri? Edge memang tidak berada di bawah Google, tetapi mereka masih berada di bawah Microsoft, sama-sama perusahaan besar yang dimana mereka juga memanfaatkan data pengguna. Tetapi untuk penerapan API itu, Edge belum ada kabar sama sekali. Sempat aku kontak via chat support mereka, jawaban mereka kurang meyakinkan, seakan mereka tidak tahu-menahu mengenai masalah ini. Hei, mengingat mereka juga bukan browser yang mengedepankan privasi, berikut lini produk lainnya beserta perusahaannya.
Aku juga sebenarnya ada keinginan untuk pindah apabila Edge nanti akan menerapkan API itu di rilisan selanjutnya. Pilihan yang paling kuat bagiku hanya Firefox dan Vivaldi. Firefox, cukup jelas, dimiliki oleh Mozilla, salah satu nama yang cukup dikenal dekat dengan fokusnya pada privasi, walau tidak sepenuhnya. Kemudian ada Vivaldi, browser yang dibuat oleh mantan karyawan dari Opera, yang juga mengedepankan kebebasan dari penggunanya. Keduanya memang bagus, tetapi masih banyak hal yang bikin mengganjal untuk sepenuhnya pindah.
Sebelumnya, aku ingin mengatakan bahwa aku tidak masalah dengan koleksi data yang akan dipakai oleh perusahaan teknologi seperti ini, selama data tersebut bukan data yang benar-benar krusial, atau jika memang penting, aku bisa percaya pada perusahaan itu. Lalu, jika data yang digunakan juga tidak terlalu berlebihan seperti WEI yang akan dicanangkan Google, tidak masalah sama sekali.
Firefox memang menjadi pilihan bagi yang fokus pada privasi, semuanya juga cukup familiar dengan nama ini. Tetapi hingga sekarang, Firefox masih susah untuk menjadi pilihan yang pas karena beberapa hal. Tidak ada profile switching menjadi deal breaker bagiku. Aku cukup sering berganti profil untuk hal yang berbeda. Bahkan seperti di atas tadi, aku punya berbagai macam profil di Chrome, yang dipangkas hanya menjadi tiga di Edge. Semua untuk hal yang berbeda. Kemudian, karena ekosistem yang berbeda, ekstensi juga bakalan berbeda antara yang menggunakan Chromium dengan Firefox. Banyak ekstensi yang terpaksa tidak bisa aku pakai karena entah tidak ada sama sekali, ataupun ada tetapi tidak sama. Ada satu hal lagi, tetapi akan aku bahas nanti setelah Vivaldi. Tetapi jujur, kuakui Firefox emang enak untuk beberapa aspek, salah satunya adalah kustomisasi jendela browser-nya dengan CSS. Bahkan ada ekstensi untuk mengubah warna tab senada dengan isi situs, sehingga membuatnya tampak lebih dinamis, seperti di ponsel.
Kemudian ada Vivaldi. Karena masih pakai Chromium, jadi ekstensi Chrome masih bisa dipakai, dan jelas bakal sama isinya satu sama lain. Yang mengganjal mungkin hanya workflow-nya yang berbeda. Untuk sidebar, sayangnya mereka tidak ada opsi untuk benar-benar menutup situs yang ada di siderbar, jika menutupnya hanya akan menyembunyikannya dan akan terus berjalan. Ini cukup memakan RAM banyak jika banyak situs yang aku buka bersamaan di sidebar. Kemudian walaupun ada fitur bawaan email client, kalender dan pembaca RSS, aku masih nyaman untuk pakai Thunderbird dalam melakukan aktivitas di ketiga fungsi ini. Walau memang bisa disembunyikan, cukup disayangkan, sih. Lalu untuk antarmuka, ternyata Vivaldi dirasa terlalu kecil untuk ukurannya. Saat menggunakan tab vertikal dan sidebar, ikonnya terlalu kecil. Untuk aku yang terbiasa pakai Edge dirasa kurang nyaman.
Yang terakhir, yang menjadi masalah kedua browser adalah manajer password. Karena tadi masalahku sudah terselesaikan dengan aplikasi Microsoft Authenticator, jika aku harus pindah lagi, maka ini akan cukup sulit. Karena aku sudah susah ngelepas manajer password ini. Jika memungkinan, iya, Vivaldi bisa pakai ekstensi Microsoft Authenticator. Tetapi untuk Firefox, ini nihil.
Sayangnya diriku juga bukan sembarang Slamet yang tidak begitu peduli ini itu. Aku masih memperhatikan banyak aspek yang membuatku nyaman menggunakan suatu produk, suatu software, suatu layanan. Begitu juga dengan browser. Apakah nanti akan membuatku nyaman selama memakainya? Andai pindah browser semudah itu.