Mungkin Sudah Waktunya Untuk Meninggalkan Obsidian

See at my main website here

Aku sempat membahas mengenai migrasi ke Obsidian untuk manajemen arsip konten yang aku buat. Bulan Desember kemarin yang aku bahas di sana adalah mengenai perbandingan Obsidian sama Notion, dimana Notion terasa cukup berat jika hanya untuk kebutuhan mencatat sehari-hari. Memang benar, mengingat Notion sendiri hanyalah sebuah aplikasi berbasis Electron, yang seperti pada umumnya punya kebutuhan sistem yang lebih berat. Obsidian memang tidak selengkap Notion, tetapi mengingat kebutuhannya hanya untuk menulis skrip dan konten saja, kenapa nggak pakai aja?

Aku emang nggak begitu sering pakai Notion buat nyatet skrip, dan baru kali ini, buat artikel ini aku pakai Notion buat sepenuhnya bikin artikel. Aku sebelum pakai Obsidian lebih memilih pakai Google Docs buat bikin artikel dan skrip. Full formatted, untuk standarnya artikel di internet bisa diset sedemikian rupa, tetapi lebih enteng dan lebih simpel juga. Ya, sederhana tetapi bisa diandalkan.

Kembali lagi ke Obsidian. Jujur sih, dua bulan pertama pakai ini sebenarnya cukup ngeselin juga, sih. Mengingat aplikasi ini memanfaatkan format Markdown, yang dimana tidak bisa sebelas-dua belas mereplika format yang umum dipakai pada pengolah kata seperti Word atau Docs, yang biasanya aku pakai. Oke, lah, bisa masukin gambar atau tautan, tetapi pengalaman antar platfrom tidak semulus itu. Saat mau menyalin artikel secara penuh dari Obsidian ke WordPress, biasanya format Markdown masih nyangkut di teks yang bikin kesel terkadang. Tentu saja ada plugin untuk mengatasinya, tetapi tetap saja ada kesempatan dimana plugin yang aku pakai tidak berjalan sebagai mana mestinya.

Lalu dalam mengolah gambar yang tersalin ke dalam satu berkas teks, misal, mereka lebih memilih untuk menyimpannya di direktori root vault yang dibuka, bukan di folder yang sama dengan berkas yang aku buka saat itu. Bukannya menyimpannya di satu folder yang sama justru membuatnya lebih rapi? Apalagi saat ditelusuri via Explorer, ‘kan?

Yang terakhir, cukup krusial, masalah sinkronisasi. Obsidian bisa sinkronisasi antara perangkat, tetapi layanan ini merupakan layanan berbayar. Paket yang ditawarkan untuk fitur tambahan sinkronisasi adalah 10 USD per bulan atau 96 USD per tahun. Tentu saja hal ini menjadi pertimbangan besar untuk tetap menggunakan aplikasi ini atau hengkang dan memilih alternatif lainnya saja. Memang ada alternatif yang bisa digunakan seperti menggunakan layanan sinkronisasi dari Syncthing atau disimpan di Google Drive via aplikasi desktopnya, seperti yang aku lakukan.

Keduanya punya kekurangannya sendiri. Untuk Google Drive, aku hanya menyimpannya langsung di folder Google Drive yang disediakan dari aplikasinya yang nantinya akan mengsinkronkan secara otomatis ke akunku. Tetapi minusnya adalah agar Obsidian bisa membaca sesuai mekanismenya itu, solusi ini hanya berlaku untuk Obsidian di Windows dan Mac, yang dimana berkas yang dipakai oleh Obsidian terbaca biasa layaknya berkas yang lainnya melalui Explorer atau Finder. Untuk di Android, tidak bisa dilakukan secara default karena cara kerja aplikasi Drive di ponsel dan desktop tentu saja berbeda.

Sedangkan untuk Syncthing, cara penggunaannya cukup ribet. Mulai dari set up hingga menjamin klien di desktop dan hape terus update itu cukup susah. Set upnya tidak cocok bagi seseorang yang awam soal ini, walau kecepatan sinkronisasinya tergolong cukup cepat untuk berkas-berkas dengan ukuran kecil. Minusnya adalah ketika salah satu perangkat yang sudah punya berkas versi terbaru sedang nonaktif, dan aku dengan perangkatku satunya, misal ponsel, ingin update versi berkasnya tidak bisa. Karena perangkat yang tadi mati dan tidak bisa mengirimkan berkas versi terbarunya. Susah untuk bergantung pada sistem sinkronisasi yang seperti ini, memang.

Untuk sekarang aku memilih untuk menghindari menggunakan Obsidian. Artikel ini sudah mulai pakai Notion saat aku tulis skripnya. Sebenarnya Notion nggak begitu buruk performanya, enteng-enteng aja. Mau pindah ke hape juga lebih mudah karena berbasis cloud. Mungkin yang bakal ribet nanti saat bagaimana merapikan semua arsip skrip yang aku punya. Akan aku pikirkan nanti.