Masih Membenci WhatsApp

See at my main website here

Yang namanya musibah emang gak ada yang tahu. Tahu-tahu udah terjadi.

Kira-kira seperti itu yang aku pikirkan setelah menyadari bahwa riwayat chat WhatsApp-ku yang aku simpan selama 8 tahun sirna tanpa jejak setelah aku memindahkannya dengan teledor dari ponsel lama ke ponsel baruku. Mau crashing out tapi takut dikira gila. Perlahan menerima “diriku” yang baru bagaikan Sakiko di Ave Mujica episode 12. Tunggu, aku terlalu berlebihan menjelaskannya.

Tetapi tetap saja aku masih membenci WhatsApp hingga sekarang sekalipun aku masih menggunakannya. Alasannya cukup jelas, karena hampir semua orang pakai itu, titik. Hal yang gak bisa diganggu gugat lagi. Orang malas mempelajari hal baru, jadi percuma kalau kita ajak ke tempat yang virtually lebih baik daripada WhatsApp.

Sebenarnya kedengaran simpel saja, menyalin data aplikasi yang berada di folder WhatsApp yang ada di direktori akar pada penyimpanan internal ponsel lama ke tempat lainnya dahulu, baru disalin ke tempat yang sama di ponsel baru dan baru pasang WhatsApp dan login ke akun kembali. Tetapi memang karena saat itu aku teledor dan tidak fokus karena melakukannya di jam kerja warung yang mau gak mau nyambi dengan jualan. Ah, aku gak mau nyalahin terlalu larut.

Tetap saja intinya aku tidak menyalinnya (aku pindahkan malahan) ke tempat terpisah (baca: harddisk desktop) dulu, sehingga aku gak ada backup sama sekali dari file aslinya. Dan karena ponsel baruku menggunakan Android 14, yang seingatku setelah versi yang aku gunakan biasanya, Android 10, ada perubahan berbagai macam pada struktur direktori yang digunakan oleh aplikasi. Ini termasuk WhatsApp yang memindahkan foldernya dari /WhatsApp ke /Android/data/com.whatsapp. Awalnya aku sedikit terkecoh, kenapa file backup-nya tidak terbaca, yang aku kira foldernya masih di tempat yang sama.

Nah, ini yang cukup nyebelin dan bikin file aslinya benar-benar hilang. Setelah aku pindahkan ke bawah folder Android, tiba-tiba folder Databases yang berisi riwayat chat benar-benar lenyap tanpa jejak. Blas, hilang. Aku sendiri juga bingung, kok bisa? Mendadak panik, ingin crash out, tapi sekali lagi, takut dikira orang gila. Satu lagi kesalahanku di sini, yaitu aku lupa untuk pakai fitur transfer chat yang tersedia secara bawaan. Ini jujur aku sendiri juga lupa kalau ada ginian. Tapi, ya udah lah, ya.

Aku cuma berharap semoga orang bisa pakai alternatif lainnya selain WhatsApp. Sudah muak aku dengan aplikasi ini, untuk jangka panjang. Pasalnya, yang bikin gak masuk akal sekarang adalah kenapa WhatsApp, yang secara teknis tidak benar-benar memiliki privasi yang bagus karena data kita tetap dipakai oleh Meta, baik secara sadar maupun tidak, untuk pengalaman pribadi atau bisnis, tidak juga bisa menawarkan adanya penyimpanan di awan layaknya Messenger? Atau mungkin Telegram? Kenapa? Dan backup sendiri secara daring juga bergantung dengan Google Drive? Kenapa harus seperti itu?

Setelah menenangkan diri, akhirnya agak ikhlas. Walau sebenarnya banyak yang penting yang masih terpakai dari riwayat chat itu yang memang sengaja aku simpan semenjak aku SMA. Aku tipe yang emang suka nyimpen aja, siapa tahu butuh di lain waktu. Tetapi tahu begini, ya sudah, sih. Mentok paling yang lagi perlu ya chat-ku dengan dosen pembimbing skripsiku. Semoga selesain skripsian juga, deh, wkwkwk.